Empati Berbuah Peduli

Empati Berbuah Peduli

Mungkin kita pernah mencibir ketika mendengar ada seseorang yang murung sepanjang hari gara-gara kehilangan uang 20 ribu. Cibiran itu mungkin bukan meruakan reaksi tidak peduli, tetapi justru karena kita telah mencoba bersimpati. Kita mencoba untuk merasakan bagaimana sedihnya kalau kita kehilangan uang 20 ribu. Alhasil, kita meresa kehilangan uang sebesar itu tidaklah harus meruntuhkan sukacita kita dan layak ditangisi sepanjang hari.

Reaksi kita berbeda, karena kita baru sampai tahap simpati. Simpati adalah mencoba berpikir: “seandainya saya mengalami apa yang dia alami”. Disini kita membutuhkan sesuatu yang berbeda yaitu empati. Ini adalah cara berpikirnya: “bagaimana rasanya kalau saya berada di posisi dia”.

Empati adalah semacam proses angan untuk menjadi “dia” agar kita bisa menghasilkan emosi yang nyaris sama. Tuhan Yesus adalah pribadi yang tidak hanya duduk di sorga dan mencoba bersimpati dari tempat yang maha tinggi. DIA ber-empati dengan menjadi sama dengan manusia dan mengalami seluruh lika-liku menjadi manusia. DIA merupakan teladan nyata mengenai empati yang sejati.

Simpati bisa merupakan langkah awal, tetapi empatilah yang mampu menghasilkan peduli yang sesungguhnya. Memang kesamaan emosi akan terjadi kalau kita betul-betul memiliki kondisi yang sama dan mengalami peristiwa yang sama. Namun, kita tidak harus mencari pengalaman penderitaan yang persis sama untuk bisa ber-empati. Kita bisa mencoba beberapa kondisi yang cukup mendekati kondisi orang yang kita ingin empati dengannya. Mencoba tidak jajan ketika kita punya uang atau tidak menonton film yang kita sukai padahal kita bisa melakukannya adalah beberapa latihan empati secara sederhana. Disana kita akan merasakan bagaimana rasanya tidak menikmati semua fasilitas yang kita bisa dapatkan atau tes emosi atas kehidupan yang tanpa fasilitas dan kecukupan.

Ber-empati bukanlah sekedar latihan rasa atau permainan semosi semata. Diharapkan empati akan berbuah peduli. Pertama-tama ini membuat kita tidak akan mengecilkan dan meremehkan penderitaan orang lain. Kita tidak akan berkata, “gitu aja kok repot” atau “kalau saya mengangalami, pasti saya tidak akan sesedih dia”.

Bentuk peduli ini akan berlanjut pada tindakan praktis sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Mungkin kita akan berdoa, atau menyediakan telinga kita untuk mendengar kaluh kesahnya, atau juga akan merogoh kantong untuk berbagi dengan mereka. Yakinlah, di sekitar kita masih banyak orang yang membutuhkan empati kita.

Oleh: Petrus Setyawan, M.Div.

0 Komentar